hallo blogies ^^ lama juga nih ga nge blog
.
tau gak sih , ada hal yang lebih kejam bahkan melebihi hittler. menurut kalian apa? anyone knows?
kalau menurutku sih "waktu"
1.
saat sedih mengantar kepergian orang ke surga, siapa lagi yang
menghapus memori kita tentang nya nanti kalau bukan wakktu? ya aku
paham, ada saat dimana kita akan mengingat dan akhirnya lupa.
2.
sekarang saat kau ada di depan ibu atau ayahmu, saat mereka tertawa,
lalu ada saat dimana mereka mulai menua, siapa yang mengikis umur
mereka? ya waktu!
waktu merebut semua yang indah, tapi juga mendatangkan masa yang belum tentu indah pula(masa depan itu nyata tapi rahasia),
"waktu"
merenggut semua dari kita, dan dengan mudahnya ia mengganti sesuatu itu
dengan yang baru , tanpa bertanya terlebih dahulu, seberapa berartinya
sesuatu yang telah ia ganti itu.
kenapa waktu tidak berhenti saja?
bahkan
saat terpejam, dan tak melakukan aktivitas pun, "waktu" terus berjalan.
kenapa tak se irama saja? kenapa "waktu" tak bisa toleran ? egois
sekali bukan.
bahkan saat kerabat meninggal, ia tak ikut sedih,
ia tak ikut berhenti , namun ia terus berjalan, ya! "waktu" hanya terus
berjalan.
"hei Waktu! berhentilah sejenak. aku sedang ingin
menikmati kebahagiaan ini sebentarr saja! keluarga yang lengkap, canda
yang hangat."
tapi "waktu" tetap pada pendiriannya, ia hanya berjalan dan berjalan.
kenapa aku bisa bilang waktu lebih kejam dari hittler?
Hittler sudah tewas, dan sudah menjadi bagian dari sejarah, namun "waktu'? sampai sekarang ia masih tetap pada pendiriannya yakni "berjalan" ia masih ada, dan bukan bagian dari sejarah.tapi dia bungkam berjalan dengan masa bodonya.
cerpen
Posted in
Selasa, 22 Oktober 2013
Tema : Cita-Cita
“Menggapai Cita dengan Caraku”
Originality by
Sufirach
*cerita ini hanya fiktif. tidak ada unsur kehidupan pribadi. selamat membaca
*cerita ini hanya fiktif. tidak ada unsur kehidupan pribadi. selamat membaca
Menggapai Cita dengan caraku
Liburan musim ini,
tidak begitu berarti buatku, liburan yang harusnya habis dengan tawa lepas,
berkumpul dengan keluarga, ataupun sekedar bermain dengan teman-teman. Tapi di
liburan kali ini aku harus bisa ber-lapang dada menerima pengumuman bahwa aku
tak naik ke kelas XII . sebenarnya aku tak nakal, ataupun tukang onar, bahkan
aku tak pernah bolos atau terlambat sekolah sekalipun. Namun, aku hanya “kurang
bisa” atau lebih jelasnya, aku susah memahami materi-materi sekolah dan setelah menerima vonis tersebut, bagai
disambar petir, ayah ku bersih keras memindahkan ku di sekolah swasta yakni
“Putra Bangsa” oh ya! Aku lupa , Namaku Vera Veronica, dan kini aku masih duduk
di bangku kelas XI dengan prestasi pas-pas an tentunya.
Pagi yang indah, harum kuas dan cat air semerbak di seantero kamarku,
saat aku membuka mataku, hal pertama yang kulihat ialah menikmati lukisan
pemandangan yang ku buat di langit-langit kamarku. Seketika aku termemnung,
teringat saat TK dulu “Vera kalo udah gede mau jadi apa” saat ditanyai ingin
menjadi apa, dengan polosnya kadangkala kita menjawab “dokter!”, “presiden!”
“guru!” “tentara!” , kemudian saat remaja dengan pertanyaan yang sama, kita
akan menjawab “akpol” “wanita karir” “ingin membahagiakan orang tua.” Dan
sekarang aku siswi dengan prestasi dibawah standart dengan tegas akan menjawab,
aku akan menjadi apa adanya diriku. Ya! Aku ya aku, “Kita hanya bisa berusaha,
soal nanti kita akan menjadi apa, biar jadi kehendak Tuhan”. aku berusaha kok,
dirumah , aku belajar, disekolah aku berdiskusi pelajaran dengan teman-teman.
Tapi naik atau tidak naik kelas itu sudah suratan-Nya bukan? Sekali lagi , aku
bertanya pada diriku, kenapa aku yang gagal? Dan saat itu pula, diriku yang
lain menjawab, ‘itu bukan sebuah kegagalan, tapi pengalaman, semakin sering
kita mencoba, lalu gagal, akan sering pula kita mendapat pengalaman , dan
disitulah kita akan menemui letak kesalahan kita, lalu memperbaikinya. Itulah
kenapa banyak orang bilang kegagalan ialah kesuksesan yang tertunda’ kebanyakan
orang menyebut jawaban tadi ialah “kata hati” namun aku menyebutnya “diriku
yang lain”.
“Vera!!! Belajar!”
suara ayah di ambang pintu mengagetkanku, aku pun loncat dan menjawabnya dengan
terkaget-kaget.
“ayah! Bukannya
ini minggu pagi”
“apakah yang
namanya belajar itu harus senin, atau selasa pagi saja? Ayo cuci muka! Terus
ambil bukumu, ayah mau lihat pekerjaan sekolahmu. Ayah tunggu dibawah Vera.”
“baik ayaah..”
Iya, ayah benar,
bahkan saat minggu pagi kita harus belajar , barusan aku belajar cara bersabar.
Huft! Ayah ini benar-benar deh, bahkan sebelum aku sempat makan, ayah sudah
menyuruhku belajar.
Saat aku
membalikan badan, aku tersadar bahwa sedari tadi kamarku bah kapal pecah, kuas-kuas
tergeletak disana-sini, cat air yang berserakan bahkan terinjak olehku dan
catnya meluber kemana-mana, tak ketinggalan sketch book ukuran jumbo bertebaran
di hampir semua lantai kamar.
Jujur, aku tak
ahli dalam setiap mata pelajaran namun pastilah aku memiliki kelebihan , yakni
“melukis” entah, saat aku sedang menorehkan kuas, aku merasa menjadi “dirirku”
penuh percaya diri dan sangat optimis. Aku sering mengikuti perlombaan saat SMP
dulu, dan sempat menyabet gelar Miss Art 2010 . Tapi itu dulu, dan saat SMA aku
tak bisa mengumbar kreatiitas ku seperti dulu, teringat ucapan ayah dulu
“meskipun kamu pandai soal melukis, tapi kurang bisa pelajaran akademis gak ada
gunanya Vera...masuk universitas kan juga butuh nilai akademis”
Sudahlah itu dulu,
sekarang yang ada ialah Vera yang baru dan semangat yang baru.
“ayah , ibu Vera
berangkat dulu ya...”
“lho kemana siang
bolong begini”
“mau ke toko buku,
cari referensi.” Ucapku singkat lalu enyah.
Sesampainya di toko buku, aku melewati rak khusus lukis, berbagai alat
melukis dijual disana, namun mataku tertuju pada satu hal
“beasiswa lukis?”
aku membaca sekilas , tertera diatasnya “Lomba Lukis Akbar untuk SMA sederajat.
–Germany scholarship-”
Tak pikir panjang,
aku pun membeli perlengkapan lukis , kuas dengan berbagai macam ukuran, dan
selebihnya aku belikan cat air , kanvas serta pallet.meskipun cukup menguras
kantung, tapi kali ini niatku untuk mengikuti lomba lukis tak ter elakkan lagi,
jujur saja, selama aku di SMA , aku sudah sering menahan rasa ingin mengikuti
perlombaan lukis , namun kali ini aku tak peduli! Aku harus bisa! Paling tidak aku mencoba nya.
Sesampainya di
rumah , aku parkir mobil di garasi, semua barang yang ku beli ku simpan
sementara di jok belakang mobi, dan saat semua orang tertidur, aku
mengambilnya.
Pukul 00.15 aku
mengendap-endap ke garasi mobil, kemudian mengambil alat lukisku di jok mobil,
setelah semua barang tertata rapi, di tengah malam itu aku melukis, melukis
.... astaga aku lupa tema yang akan dipakai melukis nantinya di perlombaan. Ah
tak peduli dengan tema, larut malam begini aku hanya ingin melukis seperti
biasanya, yakni melukis murni dari imajinasiku, semua emosi yang ada ku
torehkan pada kuas, tiap torehan yang kubuat kurasakan! Dan buatku sangat
nyaman... apa ini yang dinamakan “soul of Art” ?
Entahlah tapi
melukis itu nikmat, semakin lama, imajinasiku menuntunku melukis sosok gadis
yang berhasil dengan karirnya, gadis dengan senyum sumringahnya melempar topi
wisuda.
Kring.....Kring....Kring....Alarm
berbunyi, aku pun lekas melompat dari kursi
Astaga!!! Sudah
pagi... tepat pukul 04.30 aku pun segera menarik selimut dan lekas tidur.
Hari sekolah seperti biasa, tak ada yang istimewa disana, hanya saja...
“oh iya, pengumuman
buat hari ini , UAS kita di undur sekitar 3 minggu kedepan ”
“hah!!” aku
tercengang mendengar pengumuman Riyo selaku ketua kelas, bukankah itu
bertepatan dengan lomba lukis yang akan ku ikuti, seraya tak percaya aku
memastikan jawaban
“itu udah fix belom?”
“sudah Ver, sudah
dirapatkan oleh guru-guru”
Aku terdiam.
Sesampainya
dirumah, ibu bertanya
“kenapa Ver, kok
muka nya murung gitu? Remidi ya?” aku memandang ibu kecut kontra dengan
bercandaanya barusan.
“iyadeh ibu
bercanda” ucap ibu sambil tersenyum.
“kalau ibu balik
ke SMA lagi, ibu bakal milih mana? Lomba masak atau ujian?” aku bertanya
seperti itu, karena aku faham betul bahwa hobi ibuku ialah memasak.
Ibuku menjelaskan panjang lebar,
soal pertanyaanku barusan, namun tetap saja aku bimbang harus bagaimana. Kalau
ibu dan ayah yang ditanyai, jelas saja mereka memilih Ujian. Jujur saja, mereka
faham betul maksut pertanyaanku barusan. Melukis, atau Ujian?.keputusan pun
segera ku ambil, aku lebih memilih Ujian, ya! Kali ini tekad ku sudah bulat,
aku akan mengikuti Ujian ketimbang Lomba lukis. Semoga pilihanku kali ini
benar. Cat air, pallet,kanas, kuas dan peralatan lukis lain ku kemas ke dalam
kardus TV besar. Lalu ku masukan gudang.
Karena tak ingin mengecewakan
pilihanku, entah disulap seperti apa, aku merasa termotivasi belajar. Belajar,
belajar dan belajar. Hanya itu sekarang, tepatnya sekarang hingga aku lulus
nanti. Tak ada kuas, cat air atau kanvas. Aku tau ada sebab akibat di dalam
keputusanku ini. Jika aku lulus dengan prestasi bagus nantinya, aku bisa belajar
di universitas yang ingin ku masuki . Dan sebelum semua itu tercapai, sekarang
aku harus belajar 100 kali lebih keras dari biasanya. Kali ini bukan kegagalan,
namun hanya ketertundaan.
18Bulan
Kemudian
“Vera, kamu pakai
kebaya ungu ya! Ibu pakai kebaya merah”
“iya bu”
Aku mendapati
diriku disana, di depan kaca, sosok gadis itu yang dulunya takut sekolah, yang
dulunya menjadi musuh buku-buku pelajaran, kini lulus dan di wisuda. Seakan mimpi,
ayah dan ibu sempat terharu saat mendapati pengumuman bahwa aku menyabet nilai
UN tertinggi se Jawa Timur. Jangankan mereka, aku saja terkaget-kaget. aku
masih terperangah tak percaya dengan gadis di cermin itu. Namun, semua itu
terasa kurang lengkap, saat apa yang menjadi cita-cita ku belum ku gapai.
Seorang Pelukis.
Sesampainya di sekolah, ayah dan ibu
dengan bangganya menggandeng ku memasuki gerbang sekolah, guru-guru tak pernah
menyangka bahwa siswa yang menyabet UN tertinggi di Jawa Timur, berasal dari
sekolah swasta sederhana yang dulunya sempat tak naik kelas.
Aku pun
menyampaikan pidato singkat, kemudian menerima ijazah dan pulang.
Di perjalanan
menuju rumah, ayah menyerahkan amplop coklat lumayan besar
Sebelum sempat ku baca isinya, di kop surat
tersebut tertera University Of Art Italy
Seketika tanganku
gemetar membaca isi surat. Perlahan aku menerjemahkan maksud surat tersebut
yang awalnya ditulis dalam bahasa Inggris. Aku menangis terharu tak sanggup berkata-kata
, kemudian ayah menjelaskan semuanya, bahwa ayah mengirimkan salah satu
lukisanku ke perguruan tinggi dengan label Italy
Foundation Scholarship . Dan inti surat tersebut ialah, pihak penyelenggara
beasiswa tersebut ingin melihatku melukis sekali saja, untuk memastikan itu
bukan lukisan ayah, melainkan lukisanku. Aku pun tertawa.
Namun, inti dari segala inti adalah,
aku telah belajar cara menggapai cita-cita sesuai versi ku, aku senang
mendapati bahwa tak ada koreksi dengan mindset ku dulu “Kita hanya bisa
berusaha, soal nanti kita akan menjadi apa, biar jadi kehendak Tuhan”
“TAMAT”
Langganan:
Postingan (Atom)